Tiga Terdakwa Kasus Perekrut Pekerja Migran Ilegal di Malang Divonis 1 Tahun 8 Bulan dan 2 Tahun

Sidang kasus penempatan dan perekrutan ilegal Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) pada Rabu (10/9/2025)

MALANG, BERITAKATA.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang menjatuhkan vonis penjara dan denda terhadap tiga terdakwa kasus penempatan dan perekrutan ilegal Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) pada Rabu (10/9/2025).

Ketiga terdakwa, HNR (45) selaku penanggung jawab fasilitas penampungan, DP (37) sebagai kepala cabang PT NSP wilayah Malang, dan AB (34) yang bertugas sebagai perekrut lapangan, terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai tuntutan jaksa.

“Untuk terdakwa HNR divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, subsider 6 bulan kurungan,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kota Malang, Mohamad Heriyanto pada Rabu (10/9/2025).

Sementara itu, dua terdakwa lainnya menerima hukuman lebih ringan.

“Terdakwa DP dan AB masing-masing divonis 1 tahun 8 bulan penjara dengan denda yang sama, yaitu Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan,” tambah Heriyanto.

Sebelumnya, JPU menuntut sesuai dengan Pasal 81 jo Pasal 69 UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Terdakwa Hermin dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan. Sedangkan untuk terdakwa Dian dan Alti dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

Menanggapi vonis yang lebih rendah dari tuntutan, pihak Kejaksaan Negeri Kota Malang menyatakan akan mempertimbangkan langkah hukum selanjutnya.

“Sikap kami adalah pikir-pikir. Kami akan melaporkan hasil ini kepada pimpinan untuk menentukan sikap lebih lanjut,” jelasnya.

Di sisi lain, putusan ini menuai kekecewaan mendalam dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Dewan Pertimbangan SBMI, Dina Nuryati, menyatakan bahwa vonis tersebut jauh dari rasa keadilan dan gagal memberikan efek jera.

“Kami sangat kecewa. Putusan ini jauh dari tuntutan JPU dan hanya melihat kasus ini dari pelanggaran prosedural penempatan, bukan sebagai kejahatan perdagangan orang,” ujar Dina dengan tegas.

Menurutnya, fakta-fakta persidangan telah dengan jelas menunjukkan adanya unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Namun, hal tersebut diabaikan oleh majelis hakim.

“Proses sidang ini seolah menutup mata terhadap praktik-praktik jahat perdagangan orang. Ada penahanan dokumen yang membuat korban rentan dan tidak bisa menolak. Ada eksploitasi berkedok pelatihan penguatan mental yang kami anggap nonsens. Itu semua tidak dipertimbangkan,” katanya.

Lebih lanjut, SBMI menyoroti tidak adanya pemenuhan hak restitusi atau ganti rugi bagi para korban, yang sama sekali tidak disinggung dalam putusan.

“Hak restitusi korban tidak muncul sama sekali. Ini membuktikan bahwa proses persidangan tidak berperspektif pada korban, melainkan lebih membela pelaku,” katanya.

SBMI menilai, putusan ringan ini menjadi preseden buruk yang dapat melanggengkan praktik kekerasan fisik dan psikis dalam jaringan perekrutan pekerja migran ilegal di masa mendatang. Sidang putusan ini sendiri sempat ditunda dari jadwal semula pada Senin (8/9/2025).

Menanggapi putusan yang ada, pihak penasihat hukum (PH) para terdakwa Moh. Zainul Arifin menyebut hal tersebut masih menimbulkan kekecewaan. Namun, dengan turunnya hukuman kepada para terdakwa, ia menilai ini merupakan upaya hakim sebagai objektif karena sebagian beban tanggung jawab dilimpahkan kepada perusahaan pusat, bukan hanya perorangan.

“Kami masih pikir-pikir. Restitusi juga tidak dibebankan ke klien kami, melainkan ke pusat. Jadi ada pertimbangan yang objektif,” katanya. ig/nn

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *